
Memuji-muji seseorang merupakan sesuatu yang “tabu”
dalam kehidupan social masyarakat Minangkabau. Boleh jadi karena mereka
tidak suka pada pengkultusan. Atau “merasa rendah” dan “tidak berarti”
bila ada orang lain yang lebih berjasa daripadanya. Sikap “sama rendah
dan sama tinggi” yang pada satu sisi dapat menumbuhkan kehidupan yang
demokratis itu, tapi pada sisi lain dapat menjadikan mereka tidak suka
ada seseorang yang terlalu “tinggi” tempatnya, yang selalu
disanjung-sanjung. Mereka lebih suka melihat seseorang sebagaimana diri
mereka sendiri yang tidak terlalu istimewa dan tidak perlu
diistimewakan.
Di samping itu, masyarakat Minang yang dianggap sangat kritis itu pun telah memberikan dampak yang lain pula. Mereka menjadi orang yang suka “mengomentari” sesuatu sampai ke ujung-ujungnya dengan berbagai aspek. Bahkan sering mereka menjadi “pencemooh” terhadap sesuatu keadaan yang tidak disukai. Tidak jarang pula mereka menjadi skeptic dan bahkan tidak mempedulikan orang lain sama sekali.
Kapan orang Minang mau menghargai jasa orang lain?
Di samping itu, masyarakat Minang yang dianggap sangat kritis itu pun telah memberikan dampak yang lain pula. Mereka menjadi orang yang suka “mengomentari” sesuatu sampai ke ujung-ujungnya dengan berbagai aspek. Bahkan sering mereka menjadi “pencemooh” terhadap sesuatu keadaan yang tidak disukai. Tidak jarang pula mereka menjadi skeptic dan bahkan tidak mempedulikan orang lain sama sekali.
Kapan orang Minang mau menghargai jasa orang lain?

Tidak semua orang saat ini suka dicemooh. Pengertian cemooh saat ini sudah jauh berubah. Bila dulu cemooh berarti “pertanda kuatnya perhatian” dan “pertanda kritisnya masyarakat” telah berubah menjadi “serangan” dan “tidak menyukai”. Bila ada orang mencemooh sesuatu, maka orang itu dianggap menyerang dan tidak menyukai sesuatu. Orang yang suka “mencikaraui” (mencampuri) urusan orang lain.
Akibat perubahan pengertian kata demikian, orang Minang menjadi “takut” untuk dikatakan “pencemooh”. Karenanya pula, orang Minang menjadi “tidak kritis” lagi. Cemooh sebagai muara dari daya kritis masyarakat, hilang bersamaan dengan ketakutan yang tak beralasan itu.
Apakah sekarang masyarakat Minang tidak pencemooh lagi, tidak lagi kritis, atau benar-benar mereka telah kehilangan “nyali”?